Senin, 19 Oktober 2015

Pengaruh Aliran Cash Flow Diindonesia Terhadap Pertukaran nilai Rupiah dan USD



Nilai Kurs Mata Uang dan Kinerja Bursa
KENAIKAN kinerja Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada hari penutupan bursa pekan lalu, sedikit melegakan para pelaku pasar. Kenaikan itu terjadi saat kondisi dan faktor pengaruh, seperti suku bunga dan kurs mata uang tidak pada posisi yang kondisional. Tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) naik menjadi 8,25 persen. Posisi kurs mata uang rupiah terhadap dolar AS melemah pada kisaran Rp 9.700 sampai Rp 9.800 per dolar AS.
Transaksi perdagangan pada akhir pekan lalu masih cukup bergairah yang ditandai dengan total nilai transaksi hampir 1 triliun rupiah per hari. Investor asing terlihat lebih banyak bersikap wait and see dan transaksi lebih didominasi investor lokal. Jumlah dan nilai transaksi dari investor asing sekitar 30 persen, sedangkan investor domestik 70 persen.
Telaah teori mengungkapkan dua model yang berkaitan dengan hubungan antara kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing dengan kinerja bursa, yaitu model flow oriented dan model stock - oriented. Model flow - oriented (Dombusch dan Fischer) mengungkapkan, perubahan nilai tukar mempunyai aliran terhadap perubahan neraca perdagangan, pendapatan dan lebih lanjut ke harga saham di bursa efek. Perubahan itu lebih lanjut akan berpengaruh terhadap permintaan uang dan nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing.
Model Stock - oriented (Branson, Frankel) dikatakan sebagai model yang dinamis. Ekspektasi atau prediksi nilai uang masa yang akan datang merupakan dasar pertimbangan harga saham saat ini. Nilai suatu saham hakikatnya merupakan nilai sekarang (present value) dari cash flow perusahaan di masa mendatang. Bila nilai tukar mata uang masa depan diprediksi baik, maka cash flow perusahaan akan cenderung baik dan lebih lanjut harga sahamnya di bursa juga baik.
Penelitian empiris pengaruh dari perubahan nilai tukar mata uang terhadap kinerja saham di bursa menunjukkan hasil beragam. Pada bursa efek yang sudah maju (developing market) umumnya terdapat korelasi negatif signifikan antara kurs mata uang dengan kinerja bursa. Bila kurs mata uang dalam negeri melemah atau nilai dolar naik, maka kinerja saham di bursa efek dalam negeri akan melemah.
Sedangkan penelitian empiris pada bursa efek yang tergolong sedang berkembang (emerging market), seperti Indonesia menunjukkan hasil berbeda pada kurun waktu yang berbeda. Bila perubahan dari kurs mata uang tinggi, maka umumnya hubungannya dengan kinerja saham di bursa akan negatif signifikan. Namun bila perubahannya tidak mengagetkan pelaku pasar, maka umumnya tidak berkorelasi secara signifikan. Artinya, dalam jangka pendek perubahan dari kurs mata uang tak berhubungan dengan penurunan atau kenaikan kinerja saham di bursa efek. Perusahaan Pertamina selaku perusahaan penghasil minyak, saat ini masih mempunyai ketergantungan impor dalam hal pengadaan bahan baku produksi. Untuk keperluan impor bahan produksi membutuhkan mata uang asing dalam bentuk dolar. Pertamina mempunyai ketergantungan dengan kebutuhan masyarakat dalam hal penyediaan bahan bakar minyak. Adanya antrian pada beberapa stasiun pengisian bahan bakar minyak (SPBU) dan di beberapa tempat kehabisan stok menunjukkan dan mengindikasikan adanya hambatan dalam produksi dan distribusi BBM.
Kebutuhan peningkatan produksi memerlukan bahan baku produksi yang lebih banyak. Dampaknya kebutuhan impor bahan produksi menjadi meningkat, berarti ada peningkatan kebutuhan mata uang dolar. Peningkatan kebutuhan mata uang dolar, sejalan dengan teori pada model flow - oriented, maka kurs dolar akan menguat atau rupiah menjadi melemah.
Menjadi pertanyaan, apakah kemelemahan rupiah lebih lanjut akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja saham di BEJ? Sejalan dengan teori pada model stock - oriented, maka salah satu faktor yang sangat menentukan, yaitu ekspektasi pasar terhadap nilai uang rupiah waktu mendatang. Sedangkan melalui teori model flow-oriented perlu memperhatikan ambang batas perubahan dari kurs rupiah.
Dengan demikian dapat dirumuskan, ekspektasi pasar terhadap nilai uang rupiah waktu mendatang dan ambang batas perubahan dari kurs rupiah merupakan dua faktor penentu untuk menjawab pertanyaan, bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata uang terhadap kinerja saham di bursa efek.
Kejadian hari bursa akhir pekan lalu yang transaksinya relatif didominasi investor domestik di kala rupiah melemah, menunjukkan investor domestik masih percaya diri. Hal itu menunjukkan dan mengindikasikan, ekspektasi mereka terhadap nilai uang rupiah waktu mendatang masih positif dan masalah tingginya kurs rupiah akan dapat tertanggulangi dengan baik. Indikasi ekspektasi yang positif dicerminkan adanya transaksi yang relatif cukup tinggi dan kemudian kinerja saham di bursa meningkat.
Harapan masyarakat dan pelaku pasar, yaitu pemerintah dapat menyikapi kepercayaan atau positifnya ekspektasi tersebut dengan segera menyelesaikan masalah kelangkaan BBM. Penyelesaian itu dilakukan secara terintegrasi antara manajemen produksi, distribusi dan pendanaan yang optimal. Ketergantungan pada bahan baku produksi sebenarnya merupakan salah satu indikasi manajemen produksi yang tidak optimal. Ketergantungan impor bahan baku produksi sebenarnya juga merupakan salah satu indikasi manajemen pendanaan yang kurang optimal.
Dilihat dari ambang batas, posisi kurs rupiah pada posisi di atas Rp 9.700 ini sebenarnya sudah memasuki yellow area atau kisaran lampu kuning yang kurang aman. Pada penetapan revisi APBN 2005, asumsi kurs rupiah terhadap dolar AS pada kisaran Rp 8.900 sampai Rp 9.000. Pada bulan Maret lalu, posisi kurs pernah mendekati Rp 9.700 yaitu dengan sebab yang sama, yaitu dampak tingginya harga minyak dunia. Namun waktu itu kemudian dapat menguat kembali sampai posisi di bawah Rp 9.500 per dolar AS. Perbedaannya, saat itu tidak sampai mengganggu kelangkaan dalam persediaan BBM dalam negeri.
Ekspektasi pelaku pasar terhadap perubahan kurs saat ini masih positif dan tidak begitu mengganggu kinerja saham di bursa. Namun dari segi ambang batas nilai tukar, sangat perlu diwaspadai. Jangan sampai terjadi nilai tukar menyentuh red area atau kisaran lampu merah yang dampaknya cenderung akan sangat mengganggu kinerja saham di bursa efek. (Sugeng Wahyudi, dosen pada Program Doktor Ilmu Ekonomi Undip Semarang-33)





Analisis Pengaruh Capital Inflow Terhadap Nilai Tukar Rupiah


Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia internasional. Semakin terintegrasinya berbagai aspek perekonomian suatu negara dengan perekonomian dunia mengakibatkan terjadinya peningkatan arus perdagangan barang maupun uang serta modal antar negara. Adanya aliran modal masuk asing ini secara tidak langsung dapat menggerakkan perkembangan sektor keuangan untuk tumbuh lebih maju dan pada akhirnya akan memacu pertumbuhan ekonomi. Berkaitan dengan aliran modal asing yang masuk cukup deras, maka akan mempengaruhi stabilitas perekonomian Indonesia dari aspek eksternal berupa gejolak nilai tukar rupiah setiap saat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa besar pengaruh capital inflow terhadap nilai tukar rupiah, menganalisis bagaimana pengaruh guncangan capital inflow terhadap nilai tukar rupiah. Serta mengetahui pengaruh variabel makroekonomi lain terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis Vector Auto Regression (VAR) yang dilanjutkan dengan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil estimasi VECM model penelitian menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah pada jangka pendek secara signifikan dipengaruhi oleh variabel nilai tukar itu sendiri pada lag pertama dan inflasi, sedangkan pada jangka panjang menunjukkan bahwa variabel capital inflow, inflasi, GDP, suku bunga, dan trade openness signifikan mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah. Variabel capital inflow, inflasi, suku bunga, dan trade openness berpengaruh positif sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi. Sedangkan variabel GDP berpengaruh negatif, maka akan menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami apresiasi. Respon nilai tukar riil akibat guncangan capital inflow serta variabel makroekonomi lain seperti inflasi, GDP, suku bunga, dan trade openness menyebabkan fluktuasi nilai tukar riil. Pengaruh guncangan capital inflow mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah pada kisaran periode awal hingga periode ke-17. Hasil FEVD menunjukkan bahwa varian nilai tukar riil dominan dijelaskan oleh shock pada variabel nilai tukar rupiah itu sendiri dan inflasi hingga akhir periode. Sedangkan guncangan pada variabel capital inflow, serta variabel makroekonomi seperti GDP, suku bunga dan trade openness kurang dapat menjelaskan nilai tukar riil karena pengaruhnya yang sangat kecil. Adapun saran yang diberikan penulis dengan melihat hasil dari penelitian ini yaitu: (1) Pemerintah sebaiknya perlu membatasi jumlah capital inflow di Indonesia karena peningkatan pada capital inflow dalam tujuan memperbaiki pergerakan nilai tukar rupiah tidak efektif dan hanya memberikan kontribusi yang kecil dalam mengontrol pergerakan nilai tukar rupiah. (2) Pemerintah sebaiknya melakukan kebijakan yang tepat agar peningkatan yang terjadi pada capital inflow dapat mencirikan adanya peningkatan terhadap penawaran valuta asing yang masuk ke domestik. Selain itu diperlukannya penanganan terhadap nilai tukar itu sendiri dan pengelolaan inflasi di Indonesia karena nilai tukar rupiah tahun sebelumnya dan inflasi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kestabilan nilai tukar rupiah. Informasi mengenai faktor utama yang menyebabkan kenaikan laju inflasi sangat diperlukan sebelum pemerintah mengambil kebijakan yang tepat untuk menekan laju inflasi yang berlebihan agar tercipta kestabilan perekonomian.
Variabel Return On Assets (ROA) sebagai proksi profitabilitas digunakan sebagai variabel independen untuk mengetahui pengaruh profitabilitas yang dimiliki perusahaan untuk menetapkan kebijakan dividen. Return On Assets (ROA) merupakan perbandingan antara laba bersih dengan total aktiva. Ismiyanti dan Hanafi (2003)  menemukan bahwa Return On Assets (ROA) menunjukkan pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Artinya pada tingkat profitabilitas yang tinggi perusahaan akan cenderung untuk menahan dividen agar memiliki sumber dana internal yang tinggi. Dengan cara ini perusahaan dapat menunda penggunaan hutang yang relatif lebih berisiko dari pada penggunaan dana internal.
Dari penelitian-penelitian terdahulu yang meneliti tentang kebijakan deviden, diperoleh hasil yang berbeda-beda terhadap pengaruh variabel yang digunakan. Berdasarkan hal itu penelitian tentang variabel yang mempengaruhi kebijakan dividen perlu untuk dilakukan kembali. Penelitian ini mengembangkan empat variabel independen yaitu free cash flow, kepemilikan manajerial, kebijakan hutang, dan return on asset (ROA), yang mempengaruhi kebijakan dividen dengan menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta Tahun 2002 sampai dengan tahun 2004. Pemilihan keempat variabel tersebut berdasarkan penelitian sebelumnya yang meneliti tentang variabel-variabel yang mempengaruhi kebijakan dividen. Penelitian yang dilakukan oleh Nuriningsih (2005) mengungkapkan adanya hubungan antara kepemilikan manajerial, kebijakan hutang, return on asset (ROA), dan ukuran perusahaan. Penelitian lain dilakukan oleh Jensen (1986) yang mengungkapkan hubungan antara arus kas bebas terhadap rasio pembayaran dividen dan pengeluaran modal.

http://jurnalskripsi.com/analisis-pengaruh-variabel-free-cash-flow-kepemilikan-manajerial-kebijakan-hutang-dan-return-on-assets-terhadap-kebijakan-dividen/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar