Nilai
Kurs Mata Uang dan Kinerja Bursa
KENAIKAN kinerja Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada hari penutupan bursa
pekan lalu, sedikit melegakan para pelaku pasar. Kenaikan itu terjadi saat
kondisi dan faktor pengaruh, seperti suku bunga dan kurs mata uang tidak pada
posisi yang kondisional. Tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) naik
menjadi 8,25 persen. Posisi kurs mata uang rupiah terhadap dolar AS melemah
pada kisaran Rp 9.700 sampai Rp 9.800 per dolar AS.
Transaksi
perdagangan pada akhir pekan lalu masih cukup bergairah yang ditandai dengan
total nilai transaksi hampir 1 triliun rupiah per hari. Investor asing terlihat
lebih banyak bersikap wait and see dan transaksi lebih didominasi
investor lokal. Jumlah dan nilai transaksi dari investor asing sekitar 30
persen, sedangkan investor domestik 70 persen.
Telaah
teori mengungkapkan dua model yang berkaitan dengan hubungan antara kurs mata
uang domestik terhadap mata uang asing dengan kinerja bursa, yaitu model flow
oriented dan model stock - oriented. Model flow - oriented
(Dombusch dan Fischer) mengungkapkan, perubahan nilai tukar mempunyai aliran
terhadap perubahan neraca perdagangan, pendapatan dan lebih lanjut ke harga
saham di bursa efek. Perubahan itu lebih lanjut akan berpengaruh terhadap
permintaan uang dan nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang
asing.
Model
Stock - oriented (Branson, Frankel) dikatakan sebagai model yang
dinamis. Ekspektasi atau prediksi nilai uang masa yang akan datang merupakan
dasar pertimbangan harga saham saat ini. Nilai suatu saham hakikatnya merupakan
nilai sekarang (present value) dari cash flow perusahaan di masa
mendatang. Bila nilai tukar mata uang masa depan diprediksi baik, maka cash
flow perusahaan akan cenderung baik dan lebih lanjut harga sahamnya di
bursa juga baik.
Penelitian
empiris pengaruh dari perubahan nilai tukar mata uang terhadap kinerja saham di
bursa menunjukkan hasil beragam. Pada bursa efek yang sudah maju (developing
market) umumnya terdapat korelasi negatif signifikan antara kurs mata uang
dengan kinerja bursa. Bila kurs mata uang dalam negeri melemah atau nilai dolar
naik, maka kinerja saham di bursa efek dalam negeri akan melemah.
Sedangkan
penelitian empiris pada bursa efek yang tergolong sedang berkembang (emerging
market), seperti Indonesia menunjukkan hasil berbeda pada kurun waktu yang
berbeda. Bila perubahan dari kurs mata uang tinggi, maka umumnya hubungannya
dengan kinerja saham di bursa akan negatif signifikan. Namun bila perubahannya
tidak mengagetkan pelaku pasar, maka umumnya tidak berkorelasi secara
signifikan. Artinya, dalam jangka pendek perubahan dari kurs mata uang tak
berhubungan dengan penurunan atau kenaikan kinerja saham di bursa efek.
Perusahaan Pertamina selaku perusahaan penghasil minyak, saat ini masih mempunyai
ketergantungan impor dalam hal pengadaan bahan baku produksi. Untuk keperluan
impor bahan produksi membutuhkan mata uang asing dalam bentuk dolar. Pertamina
mempunyai ketergantungan dengan kebutuhan masyarakat dalam hal penyediaan bahan
bakar minyak. Adanya antrian pada beberapa stasiun pengisian bahan bakar minyak
(SPBU) dan di beberapa tempat kehabisan stok menunjukkan dan mengindikasikan
adanya hambatan dalam produksi dan distribusi BBM.
Kebutuhan
peningkatan produksi memerlukan bahan baku produksi yang lebih banyak.
Dampaknya kebutuhan impor bahan produksi menjadi meningkat, berarti ada
peningkatan kebutuhan mata uang dolar. Peningkatan kebutuhan mata uang dolar,
sejalan dengan teori pada model flow - oriented, maka kurs dolar akan
menguat atau rupiah menjadi melemah.
Menjadi
pertanyaan, apakah kemelemahan rupiah lebih lanjut akan berpengaruh signifikan
terhadap kinerja saham di BEJ? Sejalan dengan teori pada model stock -
oriented, maka salah satu faktor yang sangat menentukan, yaitu ekspektasi
pasar terhadap nilai uang rupiah waktu mendatang. Sedangkan melalui teori model
flow-oriented perlu memperhatikan ambang batas perubahan dari kurs
rupiah.
Dengan
demikian dapat dirumuskan, ekspektasi pasar terhadap nilai uang rupiah waktu
mendatang dan ambang batas perubahan dari kurs rupiah merupakan dua faktor
penentu untuk menjawab pertanyaan, bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata
uang terhadap kinerja saham di bursa efek.
Kejadian
hari bursa akhir pekan lalu yang transaksinya relatif didominasi investor
domestik di kala rupiah melemah, menunjukkan investor domestik masih percaya
diri. Hal itu menunjukkan dan mengindikasikan, ekspektasi mereka terhadap nilai
uang rupiah waktu mendatang masih positif dan masalah tingginya kurs rupiah
akan dapat tertanggulangi dengan baik. Indikasi ekspektasi yang positif
dicerminkan adanya transaksi yang relatif cukup tinggi dan kemudian kinerja
saham di bursa meningkat.
Harapan
masyarakat dan pelaku pasar, yaitu pemerintah dapat menyikapi kepercayaan atau
positifnya ekspektasi tersebut dengan segera menyelesaikan masalah kelangkaan
BBM. Penyelesaian itu dilakukan secara terintegrasi antara manajemen produksi,
distribusi dan pendanaan yang optimal. Ketergantungan pada bahan baku produksi
sebenarnya merupakan salah satu indikasi manajemen produksi yang tidak optimal.
Ketergantungan impor bahan baku produksi sebenarnya juga merupakan salah satu
indikasi manajemen pendanaan yang kurang optimal.
Dilihat
dari ambang batas, posisi kurs rupiah pada posisi di atas Rp 9.700 ini sebenarnya
sudah memasuki yellow area atau kisaran lampu kuning yang kurang aman.
Pada penetapan revisi APBN 2005, asumsi kurs rupiah terhadap dolar AS pada
kisaran Rp 8.900 sampai Rp 9.000. Pada bulan Maret lalu, posisi kurs pernah
mendekati Rp 9.700 yaitu dengan sebab yang sama, yaitu dampak tingginya harga
minyak dunia. Namun waktu itu kemudian dapat menguat kembali sampai posisi di
bawah Rp 9.500 per dolar AS. Perbedaannya, saat itu tidak sampai mengganggu
kelangkaan dalam persediaan BBM dalam negeri.
Ekspektasi
pelaku pasar terhadap perubahan kurs saat ini masih positif dan tidak begitu
mengganggu kinerja saham di bursa. Namun dari segi ambang batas nilai tukar,
sangat perlu diwaspadai. Jangan sampai terjadi nilai tukar menyentuh red
area atau kisaran lampu merah yang dampaknya cenderung akan sangat
mengganggu kinerja saham di bursa efek. (Sugeng Wahyudi, dosen pada
Program Doktor Ilmu Ekonomi Undip Semarang-33)
Analisis Pengaruh Capital Inflow Terhadap Nilai Tukar Rupiah
Globalisasi dan liberalisasi ekonomi
telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi
perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia internasional.
Semakin terintegrasinya berbagai aspek perekonomian suatu negara dengan
perekonomian dunia mengakibatkan terjadinya peningkatan arus perdagangan barang
maupun uang serta modal antar negara. Adanya aliran modal masuk asing ini
secara tidak langsung dapat menggerakkan perkembangan sektor keuangan untuk
tumbuh lebih maju dan pada akhirnya akan memacu pertumbuhan ekonomi. Berkaitan
dengan aliran modal asing yang masuk cukup deras, maka akan mempengaruhi
stabilitas perekonomian Indonesia dari aspek eksternal berupa gejolak nilai
tukar rupiah setiap saat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
berapa besar pengaruh capital inflow terhadap nilai tukar rupiah, menganalisis
bagaimana pengaruh guncangan capital inflow terhadap nilai tukar rupiah. Serta
mengetahui pengaruh variabel makroekonomi lain terhadap pergerakan nilai tukar
rupiah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis Vector Auto Regression (VAR) yang dilanjutkan dengan Vector Error
Correction Model (VECM). Hasil estimasi VECM model penelitian menunjukkan bahwa
pergerakan nilai tukar rupiah pada jangka pendek secara signifikan dipengaruhi
oleh variabel nilai tukar itu sendiri pada lag pertama dan inflasi, sedangkan
pada jangka panjang menunjukkan bahwa variabel capital inflow, inflasi, GDP,
suku bunga, dan trade openness signifikan mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah.
Variabel capital inflow, inflasi, suku bunga, dan trade openness berpengaruh
positif sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi. Sedangkan
variabel GDP berpengaruh negatif, maka akan menyebabkan nilai tukar rupiah
mengalami apresiasi. Respon nilai tukar riil akibat guncangan capital inflow
serta variabel makroekonomi lain seperti inflasi, GDP, suku bunga, dan trade
openness menyebabkan fluktuasi nilai tukar riil. Pengaruh guncangan capital
inflow mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah pada kisaran periode awal
hingga periode ke-17. Hasil FEVD menunjukkan bahwa varian nilai tukar riil
dominan dijelaskan oleh shock pada variabel nilai tukar rupiah itu sendiri dan
inflasi hingga akhir periode. Sedangkan guncangan pada variabel capital inflow,
serta variabel makroekonomi seperti GDP, suku bunga dan trade openness kurang
dapat menjelaskan nilai tukar riil karena pengaruhnya yang sangat kecil. Adapun
saran yang diberikan penulis dengan melihat hasil dari penelitian ini yaitu:
(1) Pemerintah sebaiknya perlu membatasi jumlah capital inflow di Indonesia
karena peningkatan pada capital inflow dalam tujuan memperbaiki pergerakan
nilai tukar rupiah tidak efektif dan hanya memberikan kontribusi yang kecil
dalam mengontrol pergerakan nilai tukar rupiah. (2) Pemerintah sebaiknya
melakukan kebijakan yang tepat agar peningkatan yang terjadi pada capital
inflow dapat mencirikan adanya peningkatan terhadap penawaran valuta asing yang
masuk ke domestik. Selain itu diperlukannya penanganan terhadap nilai tukar itu
sendiri dan pengelolaan inflasi di Indonesia karena nilai tukar rupiah tahun
sebelumnya dan inflasi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kestabilan
nilai tukar rupiah. Informasi mengenai faktor utama yang menyebabkan kenaikan
laju inflasi sangat diperlukan sebelum pemerintah mengambil kebijakan yang
tepat untuk menekan laju inflasi yang berlebihan agar tercipta kestabilan
perekonomian.
Variabel Return On Assets (ROA) sebagai
proksi profitabilitas digunakan sebagai variabel independen untuk mengetahui
pengaruh profitabilitas yang dimiliki perusahaan untuk menetapkan kebijakan
dividen. Return On Assets (ROA) merupakan perbandingan antara laba
bersih dengan total aktiva. Ismiyanti dan Hanafi (2003) menemukan bahwa Return
On Assets (ROA) menunjukkan pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.
Artinya pada tingkat profitabilitas yang tinggi perusahaan akan cenderung untuk
menahan dividen agar memiliki sumber dana internal yang tinggi. Dengan cara ini
perusahaan dapat menunda penggunaan hutang yang relatif lebih berisiko dari
pada penggunaan dana internal.
Dari penelitian-penelitian terdahulu yang
meneliti tentang kebijakan deviden, diperoleh hasil yang berbeda-beda terhadap
pengaruh variabel yang digunakan. Berdasarkan hal itu penelitian tentang
variabel yang mempengaruhi kebijakan dividen perlu untuk dilakukan kembali.
Penelitian ini mengembangkan empat variabel independen yaitu free cash flow,
kepemilikan manajerial, kebijakan hutang, dan return on asset (ROA),
yang mempengaruhi kebijakan dividen dengan menggunakan sampel perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta Tahun 2002 sampai dengan tahun
2004. Pemilihan keempat variabel tersebut berdasarkan penelitian sebelumnya
yang meneliti tentang variabel-variabel yang mempengaruhi kebijakan dividen.
Penelitian yang dilakukan oleh Nuriningsih (2005) mengungkapkan adanya hubungan
antara kepemilikan manajerial, kebijakan hutang, return on asset (ROA),
dan ukuran perusahaan. Penelitian lain dilakukan oleh Jensen (1986) yang
mengungkapkan hubungan antara arus kas bebas terhadap rasio pembayaran dividen
dan pengeluaran modal.
http://jurnalskripsi.com/analisis-pengaruh-variabel-free-cash-flow-kepemilikan-manajerial-kebijakan-hutang-dan-return-on-assets-terhadap-kebijakan-dividen/